Senin, 14 Desember 2015
Artikel Pendidikan
PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
BAGI SISWA KELAS V SD MATERI PECAHAN
TESIS
Oleh :
AKHMAD SYAMSAIDI
NIM 132103818944
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
APRIL 2015
Pembelajaran Kontekstual Pada Materi Pecahan
Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Akhmad Syamsaidi1, I Nyoman Sudana Degeng2, Edy Bambang Irawan3
Prodi Pendidikan Dasar Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang
SD Negeri Brebes 03, Jl. Jend. Sudirman 174 Brebes 52212
Email : idiasakhmad@gmail.com Hp. 085727555255
Abstract: The purpose of the study is to describe the implementation of contextual learning to improve the critical thinking skills of fractions The subjects were students of class fifth A Grade student at Primary School Tlogomas 02 Malang totaling of 20 students. This research was classroom action research by two cycles. Collected data through were observation, interviews, documentation, and tests. Results of the data analysis and reflection showed at the final of the action can improve students' critical thinking skills. The increase was demonstrated by an increase in the average score of 76.18 in the first cycle increased in the second cycle to 80.63. The increase also occurred in the percentage of mastery learning students in the first cycle by 63% of students and 88% of students in the second cycle.
Keyword : contextual learning, critical thinking skills, fractions
Abstrak: Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan penerapan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis materi pecahan. Subjek penelitian adalah siswa kelas VA SDN Tlogomas 2 Malang yang berjumlah 20 siswa. Jenis penelitian adalah penelitian tindakan kelas sebanyak 2 siklus. Pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan tes. Hasil analisis data dan refleksi menunjukkan pada akhir tindakan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Peningkatan tersebut ditunjukkan dengan peningkatan skor rata-rata sebesar 76,18 pada siklus I meniungkat pada siklus II menjadi 80,63. Peningkatan juga terjadi pada persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar 63% siswa dan 88% siswa pada siklus II.
Kata Kunci: pembelajaran kontekstual, kemampuan berpikir kritis, pecahan
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat bersentuhan dengan kehidupan nyata manusia. Karena itu matematika dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh siapapun yang mempelajarinya. Matematika dipelajari untuk memberikan bekal bagi siswa agar memiliki kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, analisis, dan kreatif, serta mampu bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi yang ia peroleh untuk memecahkan masalah dan bertahan hidup dalam keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Salah satu pendekatan yang tepat untuk mengasah kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari yaitu pendekatan kontekstual. Komalasari (2013:7) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.
Kemampuan yang dapat diasah dalam pembelajaran melalui pembelajaran kontekstual adalah kemampuan berpikir kritis, analitis, kreatif dan produktif sebagaimana yang diharapkan pemerintah sudah saatnya pembelajaran kepada siswa diarahkan kepada kemampuan berpikir yang lebih tinggi (Higher order Thinkings). Karena pembelajaran kontekstual pada prinsipnya menekankan pada kemamampuan memecahkan masalah (Hosnan, 2013:275).
Berpikir merupakan usaha yang dilakukan sesorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Kuswana (2012:165) menyatakan kemampuan berpikir yang yang perlu dikuasai bagi setiap individu meliputi : “keterampilan berpikir kritis, keterampilan berpikir kreatif, dan keterampilan berpikir praktis”. Ennis (2000) mengelompokkan berpikir kritis menjadi 5 aspek kemampuan, antara lain: (1) Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar); (2) The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan); (3) Inference (menarik kesimpulan); (4) Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut); (5) Supposition and integration (memperkirakan dan menggabungkan).
Mengingat pentingnya matematika dalam kehidupan, banyak usaha yang dilakukan oleh beberapa pihak pengambil kebijakan, kepala sekolah dan guru. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain: penyediaan alat peraga, sumber belajar, pembinaan dan penataran yang berkaiatan dengan model atau pun pendekatan terbaru khususnya dalam pembelajaran matematika. Usaha dalam mengembangkan pembelajaran dilakukan agar matematika mampu dikonstruksi dengan baik oleh siswa.
Kenyataannya hasil analisis TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) tahun 2007 dan 2011 menyatakan 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah belum pada level tinggi dan advance. Dari hasil ini dapat disumpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia pada waktu itu berbeda dengan apa yang diujikan atau distandarkan di tingkat internasional (Widyastono,2014:123).
Indikasi kekurangmampuan siswa dalam merumuskan dan memecahkan masalah terlihat di beberapa SD. Hasil studi pendahuluan di SDN Tlogomas 02 terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika materi pecahan pada tanggal 3 November 2014 menunjukkan siswa kurang aktif memberikan tanggapan dan pertanyaan sebagai respon pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan tidak berusaha menggali kemampuan berpikir kritis siswa, guru menyampaikan materi secara langsung untuk memenuhi ketercapaian konten daripada kompetensi. Hal ini terlihat dari hasil tes akhir pertemuan, siswa tidak mampu mengonstruksi dalam menyelesaikan soal-soal cerita.
Gambar 1 menunjukkan siswa mampu mengidentifikasi masalah namun pada saat siswa harus menyelesaikan masalah dengan stategi dan prosedur yang tepat siswa tidak mampu. Siswa hanya mampu menjawab dengan singkat 1/4 tanpa melakukan operasi bilangan apapun. Sehingga pada akhir jawaban pun siswa tidak melakukan kegiatan penyimpulan (inferensi).
Berdasarkan analisis dan refleksi data tes kemampuan berpikir kritis dengan soal cerita kontekstual diperoleh rata-rata skor kemampuan berpikir kritis sebesar 55,00. Pada aspek menganalisis pernyataan (proposisi) dan mengidentifikasi rumusan masalah diperoleh skor 74%, sedangkan pada aspek dasar pengambilan penyelesaian masalah persentese skor hanya mencapai 43%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyelesaian suatu masalah kontekstual, siswa cenderung tidak memperhatikan identifikasi pernyataan dan rumusan masalah. Bahkan siswa tidak berusaha menyelesaikan dengan prosedur dan strategi yang tepat. Akibat dari ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan benar maka pada aspek pengambilan keputusan skor yang diperoleh siswa juga sangat kurang yakni sebesar 43%. Dari analisis data juga diperoleh distribusi perolehan skor kemampuan berpikir kritis seperti tersaji dalam tabel di bawah ini.
Untuk mengatasi permasalahan di atas diperlukan upaya guru untuk menerapkan pembelajaran yang menekankan agar siswa aktif menemukan hal-hal yang dipelajari sesuai dengan kemampuannya, bekerja sama, saling bertukar informasi melalui bertanya, dan melatih kepercayaan diri siswa agar berani bertanya/menjelaskan. Dan untuk meningkatkan kemampuan berpikir diperlukan metode yang tepat agar kiranya dapat membangkitkan minat dan motivasi untuk bekerja keras dan berpikir lebih kritis lagi. Salah satu upaya itu adalah pembelajaran diarahkan dengan pendekatan kontekstual dengan bimbingan guru dan menggunakan media yang tersedia di lingkungan sekolah.
Center of Occupational Reseach and Development (1999) menyebutkan strategi pembelajaran kontekstual ada lima, (1)relating, belajar harus mengaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata; (2)experiencing, belajar adalah kegiatan siswa dengan proses mengalami secara aktif; (3)applying, belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan dan menggunakan pengetahuan yang dimiliki siswa;(4)cooperating, belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar kelompok dan saling bertukar pikiran dengan siswa lain; dan (5)transferring, belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan untuk memanfaatkan/menggunakan pengetahuan dalam situasi konteks baru.
Strategi yang diajukan CORD di atas menurut Komalasari (2013) juga diperkuat dengan komponen yang yang terdapat pada pembelajaran kontekstual di antaranya: (1)konstruktivisme, Piaget menyarankan agar dalam pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivistik karena siswa akan belajar dengan baik bila melakukan penemuan-penemuan, melakukan refleksi, dan mendiskusikan dengan temannya; (2)menemukan, hasil menemukan melalui siklus: a) observasi, b) bertanya, c) mengajukan dugaaan, d) pengumpulan fakta dan penyimpulan. Langkah-langkah inkuiri dalam operasi perkalian dan pembagian pecahan yaitu, merumuskan masalah, mengamati, menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, mengomunikasikan hasil di depan kelas; (3)mengajukan pertanyaan, pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bagi guru bertanya dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa; (4)masyarakat belajar, Vygosky mengutarakan bahwa pengaruh sosial pada pembelajaran sangat penting. Saat siswa mengalami kesulitan menyelesaikan tugas sendiri, diperlukan bimbingan dari orang yang lebih tua atau teman-temannya yang lebih terampil; (5)pemodelan,guru bukan satu-satunya model, model dapat dirancang dengan melibatkan siswa misalnya siswa ditunjuk untuk memberi contoh pada temannya atau mendatangkan seseorang di luar sekolah. Johnson (2007), siswa seyogyanya dibiasakan saling belajar dari dan dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan dan menentukan fokus belajar. Siswa dapat dijadikan fasilitator dalam kelompoknya; (6)refleksi, cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadiaan, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima; (7) penilaian yang sebenarnya, kemajuan belajar dinilai dari proses, penilaian dapat berupa penilaian tertulis (pencil and paper test) dan penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan (project), produk (product) atau portofolio (portfolio) Hosnan (2014).
Alasan dipilihnya penggunaan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran kontekstual akan memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuannya sendiri terhadap materi yang diajarkan. Hal ini didasari oleh hasil penelitan yang dilakukan Knaap (2003) menjelaskan dalam penelitiannya ketika siswa diberi pembelajaran dengan kontekstual dengan melibatkan siswa belajar secara aktif pada masalah kehidupan nyata dalam sebuah dalam kelompok belajar, siswa semangat belajar dalam pembelajaran. Kusumaningsih (2011) menjelaskan pembelajaran CTL meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X SMA. Hal ini ditandai dengan skor rata-rata kemampuan berpikir kritis siklus II sebesar 85% dengan kualifikasi kritis.
Suryanti (2012) dan Primasetya (2014) mendeskripsikan pembelajaran kontekstual meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematika. Dalam penelitiannya Suryanti menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual memperbaiki hasil belajar yaitu meningkatknya berpikir kritis mahasiswa secara klasikal 93%. Senada Kusumaningsih dan Suryanti, Primasetya juga menyatakan bahwa melalui pembelajaran kontekstual di SMP 13 Malang meningkatkan hasil belajar yang ditandai dengan 80% siswa telah memiliki kemampuan berpikir kritis matematis dengan kategori baik.
Dalam penelitian ini digunakan 3 aspek dari 5 aspek kemampuan berpikir kritis yang dikemukakan Ennis (2000), yaitu: (1) Elementary clarification (penjelasan dasar). Indikatornya siswa mampu mengidentifikasi masalah yang muncul, pernyataan-pernyataan (proposisi) yang diketahui dan merumuskan inti masalah sebelum siswa dapat memutuskan untuk memilih strategi atau prosedur yang tepat; (2)The basis for the decision (dasar pengambilan keputusan). Indikatornya siswa dapat menentukan suatu keputusan dengan menyampaikan alasan (reason) yang tepat; (3)Inference (kesimpulan) indikatornya siswa mampu menarik kesimpulan yang masuk akal atau logis yang didasarkan pada langkah-langkah dari alasan-alasan.
Berdasarkan permasalahan yang ada, solusi yang diambil, dan dukungan peneliti terdahulu, maka dilakukan penelitian melalui pembelajaran kontekstual dengan basis kegiatan kerja kelompok untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi pecahan bagi siswa kelas V SD.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (class action research). Menurut Mulyasa (2007:152 penelitian tindakan kelas merupakan sebuah upaya yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan (proses kerja) atau memecahkan masalah yang dihadapi. Proses pemecahan masalah tersebut dilakukan secara bersiklus, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil pembelajaran di kelas tertentu. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk memecahkan masalah-masalah di kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Prosedur penelitian setiap siklus dimulai dengan perencanaan dilanjutkan dengan pelaksanaan tindakan sekaligus dilakukan pengamatan dan refleksi. Dari hasil refleksi dilakukan revisi untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan sehingga yang terjadi pada siklus berikutnya.
Subjek penelitian adalah siswa kelas VA SD Negeri Tlogomas 02 Malang. Jumlah siswa kelas VA sebanyak 20 orang siswa, yang terdiri dari 8 orang siswa laki-laki dan 12 orang siswa perempuan.
Data yang sudah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu catatan lapangan, hasil wawancara, dan foto kegiatan pembelajaran. Sedangkan data tentang keterlaksanaan pembelajaran, data observasi belajar siswa, observasi proses kegiatan kelompok dan tes kemampuan berpikir kritis dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui validasi perangkat pembelajaran, observasi, dokumentasi, wawancara, LKS, dan tes tulis. Validasi difokuskan pada perangkat pembelajaran meliputi RPP, LKS dan lembar observasi yang akan digunakan dalam penelitian. Observasi difokuskan pada keterlaksanaan pembelajaran yang melibatkan strategi REACT dan mengacu 7 komponen kontekstual. Kegiatan guru yang diobservasi adalah keterlaksanaan pembelajaran kontekstual materi pecahan.
Kriteria keberhasilan penelitian untuk keterlaksanaan pembelajaran dan aktivitas belajar siswa dengan kategori baik, dan hasil belajar berupa kemampuan berpikir kritis siswa jika siswa telah mencapai minimal KKM yaitu 70 dan ketuntasan klasikal mencapai 85% siswa. Waktu pelaksanaan penelitian mulai bulan Oktober 2014 sampai Februari 2015.
HASIL
Sebelum dilakukan tindakan penelitian instrumen penelitian dilakukan validasi terlebih dahulu. Validasi dilakukan oleh 2 validator ahli dari Universitas Negeri Malang. Persentase skor rata-rata hasil validasi RPP adalah 79%, validasi LKS 75%, validasi lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran adalah 77,5% dan validasi lembar observasi aktivitas belajar sebesar 76,5%. Perangkat pembelajaran yang sudah divalidasi direvisi sesuai saran validator, kemudian digunakan sabagai pedoman penelitian tindakan kelas.
Pelaksanaan tindakan siklus I direncanakan tiga kali pertemuan. Materi pembelajaran pada siklus I, yaitu (1) pertemuan 1 perkalian pecahan; (2) pertemuan 2 pembagian pecahan; (3) pertemuan 3 tentang hitung campuran bilangan pecahan. Secara umum penerapan pembelajaran kontekstual memiliki 3 tahap, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti,dan kegiatan akhir. Pada kegiatan awal dibuka dengan salam, berdoa, dan presensi.
Strategi yang diterapkan pada kegiatan awal adalah relating. Strategi relating untuk apersepsi dipilih karena siswa belajar dengan dihubungkan dengan masalah yang muncul sesuai situasi dunia nyata di lingkungannya. Pada apersepsi siswa juga menyelesaikan masalah dengan bantuan media kertas berpetak. Setelah apersepsi guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan langkah-langkah dalam pembelajaran. Selanjutnya siswa bergabung dengan kelompoknya sesuai tempat yang telah disiapkan. Komponen kontekstual yang muncul pada kegiatan awal adalah penemuan dan mengajukan pertanyaan.
Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan inti. Pada kegiatan inti strategi yang diterapkan adalah experiencing, cooperating dan applying. Kegiatan diawali dengan pengajuan masalah kontekstual oleh guru yang harus dipecahkan siswa bersama kelompoknya dengan media kertas berpetak dan blok pecahan. Siswa mengonstruksi penyelesaian masalah dengan aspek-aspek berpikir kritis, yaitu: (1) memberikan penjelasan dasar (elementary clarification), (2) dasar pengambilan keputusan (the basis for the decision),(3) menarik kesimpulan (inferensi). Selanjutnya siswa menyelesaikan soal-soal cerita kontekstual di dalam LKS bersama kelompoknya. Di antara soal yang diselesaikan siswa adalah soal yang dibuat oleh siswa yang ditukarkan pada kelompok lain. Penyelesaian masalah LKS siswa berpijak pada aspek kemampuan berpikir kritis. Setelah selesai siswa memajang hasilnya di tembok dan papan tulis. Sebelum diskusi kelas siswa memeriksa hasil kerja kelompok lain. Setiap perwakilan kelompok berdiri di depan hasil kerjanya dan menyampaikan hasil kelompoknya masing-masing. Kelompok I mendapat giliran pertama untuk menyajikan hasil diskusinya seperti tersaji pada gambar 1.
Gambar 2 menunjukkan hasil kerja kelompok I soal nomor 1 pertemuan 1, siswa mampu mengidentifikasi pernyataan-pernyataan (proposisi) yang diketahui (Elementary clarification). Pada penyelesaian masalah siswa mampu menyusun strategi penyelesaian dengan baik, namun pada jawaban masih terdapat kesalahan prosedur penerapan tanda operasi bagi (:) padahal seharusnya tanda kali (x) yang seharusnya digunakan (The basis for the decision). Jawaban 1) 1/2:1/4=1/2 x 4/1=4/2=2/1 yang terserang hama, 2) 1/4+1/4+1/4=3/4 yang selamat dari hama. Pada penarikan kesimpulan (Inferensi) karena jawaban salah prosedur maka penarikan kesimpipulanpun menjadi salah walaupun secara bahasa sudah sesuai dengan pembelajaran.
Pada saat diskusi kelas guru selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan tanggapan atau pendapatnya. Pada pertemuan awal siswa tidak termotivasi untuk memberikan tanggapannya, hal ini terjadi karena siswa belum melakukan terbiasa dengan keadaan seperti ini, di samping itu siswa juga merasa kebingungan apa yang harus ditanggapi. Tanggapan pertama dari kelompok III, pada jawabannya kelompok III yang berbeda dengan kelompok I adalah pada aspek The basis for the decision. Jawaban kelompok III juga masih terdapat kesalahan. Pada umumnya penyelesaian soal nomo1 1 pada pertemuan 1 belum ada kelompok yang mengerjakan dengan sempurna.
Kegiatan berikutnya adalah membahas soal nomor 2. Pada pembahasan ini kali diperoleh kelompok yang menjawab dengan benar adalah kelompok II dan V, sedangkan kelompok lain masih terdapat kesalahan pada penerapan prosedur penyelesaian. Kegiatan inti ditutup dengan penjelasan guru untuk memperkuat pemahaman materi.
Pada tahapan kegiatan akhir strategi yang diterapkan guru adalah applying dan transfeering, sedangkan komponen yang terjadi adalah refleksi dan penilaian. Siswa belum mampu dan mau menyampaikan kesimpulan dan refleksi pembelajaran. Untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran dilakukan tes hasil belajar (authentic assessment). Hasil belajar menunjukkan tingkat penguasaan siswa terhadap materi baru dipelajari.
Data-data pada siklus I setelah dianalisis didapatkan informasi bahwa persentase keterlaksanaan pembelajaran kontekstual memiliki rata-rata 74,167% dengan kategori baik. Rata-rata hasil observasi aktivitas belajar siswa 68,198% kategori baik. skor rata-rata tes akhir siklus I 76,18 dan ketuntasan klasikal sebesar 63% siswa. Dari hasil tes juga diperoleh persentase dan kualifikasi perolehan skor aspek Elementary clarification sebesar 93% (sangat kritis), The basis for the decision sebesar 71% (cukup kritis) dan Inference sebesar 61% (kurang kritis). Pada siklus I rata-rata skor kemampuan berpikir kritis secara umum dicapai siswa sebesar 56% dengan kualifikasi kurang kritis.
Hasilnya refleksi terhadap penerapan pembelajaran kontekstual ada yang belum terlaksana maksimal, yaitu (1) pengelolaan waktu kurang efisien; (2) siswa belum mampu mengidentifikasi pernyataan (proposisi), merumuskan inti masalah dan menyusun strategi dan prosedur penyelesaian soal; (3) guru belum mendorong terjadinya interaksi melalui diskusi kelas; (4) siswa belum lepas mengungkapkan pendapat, mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan; (5) sebagian siswa saja yang aktif mengerjakan soal.
Karena itu dilakukan perbaikan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan hasil refleksi pada siklus I, di antaranya: (1) memperbaiki RPP dengan memberi tambahan waktu pada kegiatan pembelajaran pada bentuk kegiatan siswa diskusi kelas dan mempresentasi; (2) menyusun bahan ajar materi operasi perkalian dan pembagian, (3) menyusun LKS dengan kalimat soal yang lebih jelas dan singkat, (4) memberikan motivasi, dorongan, dan penghargaan kepada siswa atau kelompok; dan (5) memperbaiki pengelolaan kelas selama proses pembelajaran, sehingga semua siswa berpartisipasi aktif.
Pada siklus II, direncanakan perkalian dan pembagian tetap diberikan tetapi porsi paling banyak hitung campuran. Berdasarkan hasil refleksi terhadap pembelajaran siklus I dilakukan perencanaan tindakan siklus II. Pelaksanaan tindakan direncanakan tiga petemuan yang terdiri dari 2 pertemuan pembelajaran dan 1 pertemuan khusus tes akhir siklus II. Pada pertemuan 1 materi yang dipelajari adalah perkalian dan pembagian sedangkan pertemuan 2 adalah hitung campuran. Secara umum tahapan dan langkah-langkah pembelajaran sama dengan tahapan siklus I, yaitu terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir.
Beberapa kegiatan yang dilakukan pada siklus II yaitu, pada kegiatan awal dibuka dengan salam, doa bersama dan presensi. Apersepsi dilakukan dengan tanya jawab tentang perkalian dan pembagian dari materi yang sudah diperoleh siswa. Untuk memperjelas apersepsi siswa memperagakan dengan media kertas berpetak dan blok pecahan, kemudian disampaikan tujuan pembelajaran dan cara untuk mencapai tujuan.
Pada kegiatan inti pembelajaran tetap dilaksanakan secara kelompok, siswa mengonstruksi cara menyelesaikan masalah perkalian dan pembagian sesuai indikator kemampuan berpikir kritis. Bentuk kalimat masalah yang disajikan dalam LKS berupa soal cerita pada siklus II sudah dimodifikasi dengan penyederhanaan kalimat. Hal ini dilakukan karena siswa merasa kesulitan dalam pemahaman kalimat yang terlalu panjang seperti terjadi pada siklus I. Penyelesaian masalah difokuskan pada proses dan hasil pengerjaan dengan memperhatikan aspek-aspek berpikir kritis.
Seperti halnya pada siklus I setelah siswa menyelesaikan tugas dalam kelompoknya adalah memajang dan memeriksa hasil pekerjaan kelompok lain. Kegiatan dilanjutkan dengan presentasi dan tanggapan kelompok. Siswa memperlihatkan semangat dalam mengikuti diskusi kelas, hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya siswa yang memberikan tanggapan berupa pernyataan kepada kelompok presenter. Pada siklus II ini guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat soal cerita kontekstual untuk mengatasi kurangnya motivasi siswa untuk melakukan aktivitas bertanya kepada guru. Soal yang dibuat siswa selanjutnya dikerjakan oleh kelompok lain.
Pada kegiatan akhir dilakukan kegiatan menyimpulkan hasil pembelajaran. Kemudian dilakukan refleksi dengan cara tanya jawab untuk mengetahui kesan siswa selama pembelajaran kontekstual. Selanjutnya dilakukan tes akhir untuk mengetahui hasil belajar siswa.
Berdasarkan analisis data diperoleh data siklus II, yaitu persentase rata-rata keterlaksanaan pembelajaran kontekstual adalah 85,61% kategori Sangat Baik. Hasil observasi aktivitas belajar siswa 81,025% kategori Sangat Baik. Skor rata-rata tes diperoleh 80 dan ketuntasan klasikal 88% siswa. Dari hasil tes juga diperoleh persentase dan kualifikasi perolehan skor aspek Elementary clarification sebesar 96% (sangat kritis), The basis for the decision sebesar 75% (kritis) dan Inference sebesar 67% (cukup). Pada siklus II rata-rata skor kemampuan berpikir kritis secara umum dicapai siswa sebesar 85% dengan kualifikasi kritis.
Hasil refleksi didapatkan informasi bahwa penerapan pembelajaran kontekstual
terlaksana sangat baik, aktivitas belajar juga terjadi peningkatan pada siklus II meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya siswa yang memberikan tanggapan pada saat presentasi kelas. Meskipun secara umum pembelajaran berjalan dengan baik ditemukan beberapa hal dalam penelitian, di antaranya: (1) komponen pembelajaran kontekstual tidak dapat berjalan dengan sempurna, yaitu: questioning dan reflection; (2) bimbingan (scaffolding) guru siswa yang merasa kesulitan sangat bermakna bagi hasil dan proses penyelesaian masalah; (3) siswa sangat tertarik ketika membaca permasalahan yang berhubungan dengan keseharian, namun siswa merasa kesulitan memahami masalah kontekstual yang terlalu panjang; (4) siswa tidak teliti dengan jawaban yang dihasilkan terutama dalam penarikan kesimpulan tidak mencantumkan satuan yang diminta;(5) pada awal pembelajaran beberapa siswa mengalami kesulitan dalam memahami masalah yang terdapat pada LKS. Akibatnya dalam penyelesaian masalah tidak mampu memilih strategi yang tepat dan jawabannya salah. (6) kemampuan berpikir kritis terhadap materi pada akhir siklus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes pratindakan skor rata-rata mencapai 55 dan ketuntasan klasikal sebesar 15%, skor rata-rata siklus I 76,18 dan ketuntasan klasikal sebesar 1 63 % siswa. Pada siklus kedua 88 % siswa telah tuntas belajar yang ditandai mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai KKM dengan nilai rata-rata 80,63.
PEMBAHASAN
Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Secara umum tahapan pembelajaran melalui 3 kegiatan, yaitu 1) kegiatan awal yang terdiri dari kegiatan salam dan berdoa dilanjutkan dengan presensi siswa. Selain itu menyiapkan beberapa perangkat pembelajaran di antaranya media, LKS dan lembar soal tes akhir pertemuan. Setiap awal pertemuan juga menyampaikan tujuan dan langkah-langkah pembelajaran; 2) kegiatan inti, kegiatan yang dilakukan meliputi penjelasan materi, tanya jawab, kerja kelompok menyelesaikan tugas LKS, presentasi hasil kerja kelompok dan tanggapan dari kelompok lain; 3) kegiatan akhir, kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan penyimpulan materi, refleksi, tes akhir pertemuan dan menutup proses pembelajaran.
Dalam setiap tindakan pada siklus I dan II diterapkan model pembelajaran kontektual yang melibatkan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating dan Transfeering). Selain itu juga pembelajaran mengacu pada 7 komponen kontekstual yaitu 1) constructivism, 2) inquiry, 3) questioning, 4) learning community, 5) modeling, 6) reflection, dan 7) assessment authentic.
Kegiatan awal, strategi yang digunakan adalah Relating dan Cooperating. Siswa disajikan masalah-masalah dalam kehidupan nyata yang dekat dengan kehidupan siswa. Kegiatan ini tersaji sebagai apersepsi, sehingga konstruksi siswa terbentuk dengan materi yang akan dipelajari. Kegiatan apersepsi menurut Slameto (2010:36) dengan apersepsi siswa akan memperoleh hubungan antara pengetahuan yang telah menjadi miliknya dengan pelajaran yang akan diterimanya.
Kegiatan berikutnya menyampaikan tujuan dan langkah-langkah dalam pembelajaran. Dalam kegiatan awal ini komponen kontekstual yang tampak adalah constructivsm. Komponen constructivsm muncul ketika siswa diminta untuk mengingat kembali materi-materi yang pernah dipelajari melalui tanya jawab antara siswa dan guru. Glasersfeld (dalam Komalasari, 2013:15) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman tersebut.
Kegiatan inti diawali dengan mendemontrasikan pemecahan masalah kontekstual dengan media kertas berpetak dan blok pecahan. Siswa dalam kelompok berusaha untuk melakukan kegiatan mengoperasikan perkalian dan pembagian setelah bersama dengan guru mengidentifikasi masalah dan menemukan rumusan inti masalah. Pada kegiatan ini menerapkan strategi pembelajaran experiencing dan cooperating. Strategi experiencing dipilih karena dengan melakukan kegiatan yang langsung dialami siswa akan memperkuat schemata dan diharapkan dapat menerapkan pengetahuan dalam situasi yang lain. Hal ini sejalan dengan teori Free Discovery Learning yang dicetuskan oleh Jerome Bruner yang mengungkapkan bahwa proses pembelajaran akan berjalan baik dan kreatif apabila guru memberikan kesempatan siswa untuk konsep dan aturan melalui contoh-contoh yang ia jumpai atau alami.
Komponen yang nampak adalah constructivsm, inquiry, dan modeling. Constructivsm siswa yang terlihat adalah ketika siswa mampu mengidentifikasi masalah dari soal atau problem yang diajukan oleh guru. Siswa menyusun sendiri kalimat pernyataan (proposisi) apa yang diketahui dan rumusan masalah dengan mengemukakan apa yang diketahui dengan bimbingan guru melalui kegiatan tanya jawab. Selanjutnya ketika siswa mencoba menyelesaikan masalah dengan berusaha menjawab komponen yang muncul adalah inquiry. Kompoenen inquiry yang berlangsung tentu dengan bimbingan guru melalui peragaan (modelling). Kegiatan inquiry sangat membantu siswa untuk mengonstruk kemampuan berpikir kritis dan ilmiah. Komalasari (2013:73) mengemukakan bahwa model inquiry menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, dalam praktiknya pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri.
Strategi yang diterapkan guru adalah adalah cooperating dan applying, Ketika siswa memecahkan masalah bersama kelompoknya siswa dituntut untuk menerapkan seperangkat pengetahuannya tentang fakta dan aturan (applying). Komalasari (2013:14) strategi applying pada proses pembelajarannya menekankan penerapan fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang dipelajari sehingga bermanfaat bagi kehidupan siswa di masa depan.
Penggunaan LKS dapat membantu arah kerja siswa. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan ide dalam membentuk pengetahuan mereka sendiri secara aktif dengan bantuan LKS. Ketika mengalami kesulitan, siswa dapat bertanya kepada teman sekelompok. Komponen yang terjadi dalam kegiatan ini adalah learning community, dalam ini diharapkan pemerolehan pengetahuan bukan datang dari guru, tetapi anggota kelompok dapat membelajarkan kepada temannya yang belum menguasai materi. Trianto (2008:33) menyatakan anggota kelompok yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya sekaligus meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Dari kegiatan kelompok inilah muncul pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam diskusi kelompok antaranggota. Munculnya pertanyaan dalam kelompok merupakan embrio kemajuan berpikir bagi siswa. Karena pengetahuan dibangun atas pertanyaan yang diajukan (questioning). Meskipun kegiatan bertanya oleh siswa masih disampaikan pada kegiatan diskusi kelompok tetap harus direspon positif oleh guru.
Setiap kelompok wajib menyajikan hasilnya secara bergiliran. Kelompok juga memberikan tanggapan atas hasil kerja kelompok yang lain. Komponen yang muncul pada kegiatan presentasi adalah modeling. Siswa atau perwakilan kelompok melakukan pemodelan sebagai penyaji kegiatan pembelajaran dengan cara menyampaikan hasil diskusinya. Hal ini sependapat Trianto (2008) pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa dengan cara menawarkan atau meminta anggota kelompok menjadi model. Kegiatan presentasi kelompok dalam diskusi kelas seyogyanya menjadi kegiatan yang bermakna, karena dari kegiatan tersebut akan mengasah kemampuan siswa untuk mengungkap pengetahuannya dengan memberi tanggapan atau pendapatnya.
Pada kegiatan presentasi yang terjadi pada siklus I maupun siklus II memang tidak mudah untuk diwujudkan. Kelompok yang masih kurang aktif guru memberikan motivasi untuk mengembangkan kemampuan bernalarnya dengan mengajukan pertanyaan atau menyanggah pendapat temannya. Kemampuan berpendapat sangat dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa dengan baik, karena itu kemampuan berpikir kritis untuk memberikan pertanyaan dan pendapat sangat bergantung pada penguasaan kosakata yang dimiliki oleh sesorang. Fisher (2009) faktor utama kemampuan mengungkapkan argumen adalah kemampuan memakai bahasa penalaran yang sangat jelas bagi orang lain. Bahasa penalaran yang disampaikan Fisher meliputi fakta, pendapat, inferensi, dukungan, bukti, sanggahan, dan kekeliruan dan lain-lain.
Kegiatan Akhir, guru dan siswa menarik kesimpulan tentang materi yang dipelajari, kegiatan ini dilakukan dilakukan dengan strategi transferring. Komponen kontekstual yang muncul pada kegiatan akhir ini adalah reflection dan assessment authentic. Pada kegiatan refleksi siswa diharapkan mengungkapkan apa yang telah dialami. Kegiatan ini dengan melakukan tanya jawab antara guru dan siswa. Sebelum kegiatan akhir ini ditutup dilakukan tes akhir siklus untuk mengetahui ketercapaian kompetensi pembelajaran, kegiatan ini menjadi bagian dari penilaian.
Komponen yang berlangsung tidak sesuai harapan adalah questioning dan reflection. Di antara faktor yang menjadi sebab adalah kekurangmampuan mengorganisir alokasi waktu pembelajaran, motivasi siswa yang kurang mendukung karena waktu pelaksanaan tindakan adalah waktu istirahat bagi siswa setelah melaksanakan kegiatan akademik berupa Ulangan Akhir Semester Gasal. Kurangnya motivasi dalam mengakibatkan kemauan siswa dalam berperan aktif untuk mengungkapkan ide dan pendapatnya menjadi terkondisi dengan baik.
Kemampuan Berpikir Kritis
Proses pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis berlangsung dalam bentuk kelompok. Setiap kelompok mengontruksi dan menemukan penyelesaian masalah kontekstual dunia nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat (Suprijono, 2012) bahwa belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar kelompok, saling bertukar pikiran, dan berkomunikasi dengan siswa lain secara interpersonal dan intersubjektif.
Siswa dalam kelompoknya diberi kesempatan untuk menyelidiki, menemukan dan memecahkan masalah-masalah kontekstul tanpa intervensi guru. Kegiatan ini diharapkan siswa menerapkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Komalasari (2013) menyatakan pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna pengalaman nyata.
Setiap akhir pembelajaran dilakukan tes untuk mengetahui ketercapaian penguasaan materi berupa hasil belajar. Tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar ini didukung oleh Sudjana (2012) yang menyatakan tes adalah salah satu alat penilaian dan penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil belajar yang dicapai dengan kriteria tertentu. Hasil belajar yang diperoleh melalui tes ini adalah kemampuan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan analisi data tes akhir siklus menunjukkan adanya peningkatan seperti tersaji dalam gambar 3.
Gambar 3 Rata-rata nilai dan Ketuntasan Klasikal
Gambar 3 menunjukkan skor rata-rata kemampuan berpikir kritis yang meningkat secara signifikan setelah diterapkan pembelajaran kontekstual. Jika dibandingkan hasil pra tindakan dengan rata-rata 55,00 dan ketuntasan klasikal 15%, maka terjadi peningkatan pada siklus I yaitu ketuntasan belajar sebesar 63% dengan rata-rata nilai 76,18, dan pada siklus II meningkat kembali menjadi 88% dengan rata-rata 80,63. Peningkatan hasil belajar ini menunjukan kemampuan berpikir kritis siswa semakin baik terutama dalam mengonstruksi penyelesaian masalah-masalah kontekstual.
Adanya peningkatan ketiga aspek kemampuan berpikir kritis karena adanya modifikasi lembar kerja siswa pada siklus II yang menjadi lebih singkat dalam cerita kontekstual. Sehingga siswa lebih mudah mengidentifikasi dan menyusun rumusan masalah, dan memilih strategi dan prosedur penyelesaian serta mudah untuk memecahkan masalah.
Gambar 5 Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Tiap Aspek
Gambar 5 memperlihatkan bahwa kemampuan berpikir kritis peningkatan tiap aspeknya. Dari ketiga aspek peningkatan yang signifikan terjadi pada aspek inferensi. Kenaikan persentase karena siswa sudah mampu menarik kesimpulan berdasarkan dasar-dasar pengambilan keputusan, selain itu juga siswa menyusun kesimpulan secara lengkap. Adapun pada aspek elementary clarification dan aspek the basis for the decision kenaikannya tidak begitu karena pada siklus I kedua aspek sudah cukup dan sangat baik, bahkan aspek elementary clarification kualifikasi kemampuan tetap yakni sangat baik.
Berdasarkan penjelasan ini menunjukkan dalam menyelesaikan soal siswa sudah fokus dengan apa masalahnya, apa yang diketahui dan apa yang menjadi inti persoalan untuk memilih strategi memecahkan masalah. Berikut ini adalah salah satu jawaban yang menunjukkan kemampuan aspek elementary clarification.
Gambar 6 memperlihatkan siswa mampu menentukan suatu keputusan dan menyelesaikan soal dengan prosedur dan langkah yang tepat.
Aspek inferensi (penarikan kesimpulan) terjadi peningkatan yang signifikan antara siklus I dengan siklus II. Kenaikan persentase ini menjadikan kualifikasi kemampuan aspek inferensi mengalami peningkatan dari kualifikasi kurang menjadi kualifikasi cukup. Berdasarkan penilaian terhadap kesimpulan pada tes akhir siklus I siswa belum menyelesaikan dengan menyusun kesimpulan dengan baik, karena siswa merasa cukup dengan jawabannya. Siswa seringkali terlupakan untuk mencantumkan satuan yang diminta dalam rumusan masalah, bahkan kesimpulan tidak ditulis.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis ini juga terlihat pada distribusi kualifikasi kemampuan berpikir kritis siswa pra tindakan, siklus I dan II tersaji dalam gambar 7.
Gambar 7 Distribusi Kualifikasi Kemampuan Berpikir Kritis
Gambar 7 menggambarkan bahwa setelah siswa menerapkan pembelajaran kontekstual mengalami peningkatan kemampuan yang signifikan. Jika pada pra tindakan siswa yang sangat kurang kritis sebanyak 8 siswa pada siklus II tidak siswa yang sangat kurang kritis, dan pada siklus II siswa yang berkualifikasi kurang (≤62,5) tidak ditemui.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran pra tindakan, siklus I dan siklus II ini dipengaruhi oleh beberapa faktor model pembelajaran yang diterapkan yakni pembelajaran kontekstual. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suryanti (2012) hasil penelitiannya menyebutkan pembelajaran kontekstual memperbaiki hasil belajar yaitu meningkatknya berpikir kritis mahasiswa secara klasikal 93%.
Selain itu peningkatan hasil belajar kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini mempunyai persamaan dengan hasil penelitian Kusumaningsih (2011), hasil penelitiannya menunjukkan pembelajaran CTL dengan menggunakan acuan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yang terdiri dari: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya pada materi perkalian dan pembagian pecahan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siklus I rata-rata skor kemampuan berpikir kritis yang dicapai siswa yaitu 56% berada pada kualifikasi kurang kemudian meningkat pada siklus II menjadi 85% pada kualifikasi baik.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kontekstual pada operasi perkalian dan pembagian pecahan dapat meningkatkan hasil belajar berupa kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini dibuktikan dengan tercpainya tujuan pembelajaran sehingga terdapat kenaikan nilai berpikir kritis dan ketuntasan klasikal.
SIMPULAN & SARAN
Simpulan
Pembelajaran kontekstual dengan menerapkan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating dan Transferring) dan mengacu 7 komponen pembelajaran kontekstual. yaitu: (1) konstruktivisme, guru mengajukan permasalahan yang ada di lingkungan siswa untuk dipecahkan secara kelompok dengan menggunakan media kertas berpetak/blok pecahan; (2) bertanya, Siswa bekerja dalam kelompok untuk berdiskusi dan bereksplorasi melalui LKS untuk mengontruksi dan menemukan konsep pecahan menurut cara mereka masing-masing; (3) penemuan, aktivitas bertanya siswa hanya diajukan pada kelompoknya masing-masing. Siswa cenderung diam untuk memberikan pertanyaan kepada guru bahkan untuk menanggapi presentasi kelompok lain; (4) masyarakat belajar, dibentuk dalam kelompok belajar sehingga hasil belajar siswa merupakan hasil diskusi dari siswa dalam kelompoknya; (5) pemodelan, Pemodelan dari siswa yaitu ketika siswa melakukan kegiatan peragaan dengan media, presentasi diskusi kelasdengan membacakan hasil maupun menulis di papan tulis; (6) refleksi, komponen refleksi pembelajaran kontekstual belum terlaksana secara maksimal; (7) penilaian sebenarnya, penilaian terdiri dari penilaian tertulis (pencil and paper test), penilaian proses kegiatan kelompok siswa, dan penilaian produk berupa produk soal yang dibuat siswa.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa didukung dengan adanya peningkatan persentase rata-rata skor kemampuan berpikir kritis yang dicapai siswa dan peningkatan banyaknya siswa yang memperoleh skor kemampuan berpikir kritis dalam kualifikasi kritis dari siklus I ke siklus II. Berdasarkan hasil analisis tes akhir siklus, pada siklus I rata-rata skor kemampuan berpikir kritis yang dicapai siswa yaitu 76,18 berada pada kualifikasi kritis kemudian meningkat pada siklus II menjadi 80,63 pada kualifikasi sangat kritis. sedangkan skor ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar 63% meningkat menjadi 88% pada siklus II.
Saran
Penerapan pembelajaran kontekstual ini terdapat kekurangannya yaitu 2 komponen kontektual tidak berjalan dengan sempurna yaitu (questioning) dan refleksi (reflection) Penyebabnya adalah siswa mengalami kendala berbahasa dalam mengungkapkan pernyataan dan pertanyaan. Bimbingan guru kepada kelompok yang merasa kesulitan sangat bermakna bagi hasil dan proses penyelesaian masalah. Bimbingan (Scaffolding) guru menyebabkan siswa semakin tertantang ketika menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian di atas diberikan saran agar kemampuan siswa bertanya untuk mendapatkan perhatian pelaku pendidikan karena kemampuan bertanya menjadi prasyarat kemampuan berpikir kritis. Selain itu bimbingan (scaffolding) guru yang tepat akan sangat membantu dalam perkembangan kognitif siswa.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada seluruh dosen Pascasarjana UM yang telah meluangkan waktu untuk mendidik dan membimbing selama pembelajaran, khususnya kepada Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd. dan Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd. sebagai pembimbing tesis dan artikel ini. Semoga keilmuan para dosen semakin memancar melalui aktivitasnya dan alumninya.
DAFTAR RUJUKAN
CORD. 1999. Teaching Mathematics Contextual. Texas: CORD Comm luxations Inc.
Ennis, R.H. (2000). “An Outline of Goals for a Critical Thinking Curriculum and Its Assessment”. This is a revised version of a presentation at the Sixth International Conference on Thinking at MIT, Cambridge, MA, July, 1994. Diakses dari http://www.criticalthinking.net/goals.html pada tanggal 10 November 2014.
Fisher, Alec. 2008. Critical Thinking:An Introduction. Terjemahan Benyamin Hadinata. Jakarta: Erlangga
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bandung: Ghalia Indonesia
Johnson, B, E. 2002. Contextual Teaching & Learning. Terjemahan Ibnu Setiawan. Bandung: MLC.
Kusumaningsih, Diah. 2011. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X-C Sma N 11 Yogyakarta Melalui Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Contextual Teaching And Learning (Ctl) Pada Materi Perbandingan Trigonometri. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
Knaap, N.F. 2003. Implementing Contextual Teaching and Learning: Middle and High School Student Perceptions of Classes Taught by CTL Novice Teachers. Georgia: University of Georgia
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama
Kuswana, W.S., 2012. Taksonomi Kognitif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mulyasa. 2007. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Primasatya, Nurita. 2014. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa pada Materi Aritmetika Sosial melalui Pendekatan Realistik Berbantuan Brosur Promosi Rumah di SMP Negeir 13 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Suprijono, A. 2012. Cooperative Learning. Cetakan VI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Surabaya:Jenggal Pustaka Utama.
Suryanti. 2012. Pembelajaran Kontekstual Bersetting STAD untuk meningkatkan Berpikir Kritis Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Kelas. Jakarta:Cerdas Pustaka Publisher
Widyastono, Herry. 2014. Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Bumi Aksara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar